BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Total Tayangan Halaman

Selasa, 01 Februari 2011

postingan yg kedua kalinya

Inilah kali kedua saya membuat sebuah postingan. dalam postingan ini, tertulis cerita Raden Bratasena alias Bima pandawa 5. Saya hanya ingin berbagi cerita dari cerita yg telah saya baca.


Raden Bratasena


Pada cerita tokoh Bima kali ini aku akan sekaligus menceritakan beberapa tokoh karena tokoh-tokoh ini hanya berperan sedikit namun peran mereka sangat berarti dalam cerita Mahabrata.

Bima termasuk Pandawa yang paling dikenal oleh masyarakat ramai. Bahkan ada produk jamu diberi nama “Kuku Bima”. Sangking nge-trend-nya “Kuku Bima” banyak orang mengira senjata Bima bernama Kuku Bima. Ada lelucon mengenai Kuku Bima. Di dalam kelas sekolah dasar negeri di Jakarta, kebetulan hari itu berlangsung pelajaran sejarah dan topik hari itu mengenai perwayangan. Guru sejarah bertanya kepada murid-muridnya: “Apakah nama senjata sakti mandraguna milik Bima?”. Dari pojokan kelas tangan dianjungkan ke atas dan sang guru mempersilahkan muridnya untuk menjawab. “Kuku Bima, Bu!”, sahutnya.

Memang senjata Bima yang sakti berbentuk kuku, tapi namanya bukan Kuku Bima, namanya Pancanaka. Pancanaka ini bukan sembarang kuku. Kuku ini tanjamnya tak terhingga. Ada cerita kalau tanjamnya Pancanaka setara dengan 7 pisau cukur baru.

Dari seluruh Pandawa, Bima yang paling dibenci oleh Kurawa. Bima memiliki tubuh yang paling kuat di antar Pandawa dan Kurawa. Dia mampu mengalahkan Duryodhana dan Kurawa lainnya. Waktu perang tanding antara Bima dan Kurawa, pihak Kurawa selalu kalah dan dihajar habis-habisan. Duryodhana, yang tertua dari Kurawa sangat membenci Bima dan selalu mencari cara untuk membinasakan Bima. Kebencian ini semakin bertambah karena ketakutan akan lepasnya tahta dari tangannya.



Rencana Pembunuhan

Duryodhana pernah merencanakan untuk membunuh Bima dengan menenggelamkan ke dalam Sungai Gangga. Waktu itu Bima dan beberapa Kurawa berenang di Sungai Gangga, setelah selesai berenang mereka bersantap. Tidak tahunya makanan Bima telah diracuni oleh Kurawa. Letih dan ditambah keracunan makanan membuat Bima terbaring lemas tidak berdaya. Melihat hal itu Duryodhana, sepupu Bima segera mengikat sepupunya itu dengan ranting-ranting pohon berduri dan menutupi tubuhnya dengan daun-daun gatal. Kemudian mereka melemparkan Bima ke papan lebar yang dipasangi paku-paku tajam beracun. Mereka memperkirakan, jika Bima jatuh di atas papan itu, ia pasti akan binasa tertusuk paku-paku beracun itu.

Tetapi Bima tidak jatuh di atas papan itu. Dia jatuh ke dalam Sungai Gangga. Segera oleh ular-ular penghuni Sungai Gangga yang sangat berbisa mematuki tubuh Bima. Belum jauh dihanyutkan, Bima dihempaskan oleh pusaran air ke tepian seberang sungai. Dengan gembira, Duryodhana dan saudara-saudaranya yang mengira telah membinasakan Bima pulang ke istana. Namun Bima selalu dalam lindungan dewata, racun-racun ular bukan membunuh Bima malah membantu melawan racun makanan Duryodhana sehingga racun di tubuh Bima menjadi sirna. Tidak hanya sirna malah membuat Bima kebal akan segala racun.

Usaha pembunuhan Bima tidak sekali dilakukan. Duryodhana melakukan beberapa kali percobaan pembunuhan. Kali ini Duryodhana meminta bantuan dari Mahaguru Dorna, seorang resi mahasakti untuk membinasakan Bima. Karena Mahaguru Dorna lebih berat ke Kurawa, diluluskan permintaan Kurawa.

Mahaguru Dorna memanggil Bima menghadap dan memberi dia tugas untuk mencari tirtha prawidhi atau air suci kehidupan. Katanya, “Wahai, muridku Bima yang perkasa, pergilah engkau mencari tirtha prawidhi. Carilah sampai dapat. Jangan kembali jika belum berhasil. Ketahuilah, barang siapa memiliki tirtha prawidhi, dia akan dapat memahami hidup ini dan akan mampu mengenal asal, arah dan tujuan hidup manusia, yaitu sangkan paraning dumadi. Pergilah anakku. Jangan pernah ragu, karena orang yang ragu takkan pernah berhasil.”

Bima memang orang yang tidak pernah banyak pikir sebelum bertindak. Setelah minta izin dengan ibunya, Dewi Kunti, ia pun berangkat. Dalam pikiran Bima tidak terlintas rencana busuk yang dibuat oleh Kurawa untuk mencelakakan dirinya. Di perjalanan mencari tirtha prawidhi, Bima tidak perduli pada binatang buas, raksasa, setan atau jin yang mengganggunya dalam pengembaraan. Semua berhasil dikalahkan.

Pada suatu hari ketemulah Bima dengan dua raksasa sakti, Rukmukha dan Rukmakhala. Ia menantang kedua raksasa itu untuk berkelahi. Tantangan diterima. Ia menerjang kedua raksasa itu. Keduanya tewas seketika. Begitu terbanting ke tanah, kedua raksasa itu menjelma menjadi Batara Indra dan Batara Bayu, yaitu ayah Bima sendiri.

Batara Indra memberinya mantra Jalasengara dan Batara Bayu memberinya satu ikat pinggang sakti. Kedua hadiah itu akan menjadi bekal baginya untuk mengarungi samudera paling dalam di mana pun di dunia. Kemudian Batara Bayu memberinya petunjuk bahwa air hidup yang dimaksud terletak di dalam Telaga Gumuling, di tengah rimba Palasara. Di dalam rimba belantara itu Bima harus menghadapi seekor naga raksasa sebesar Gunung Semeru yang bernama Anantaboga.

Bima mengucapkan terima kasih, lalu pergi ke rimba Palasara. Sampai di tepi Telaga Gumuling, Bima disambut oleh naga raksasa Anantaboga yang langsung menyerangnya. Naga itu mengibas-ibaskan ekornya dan membelit badan kesatria Pandawa itu. Dengan Pancanaka, kuku ibu jarinya yang sakti, Bima menusuk leher Anantaboga dan memutus tali nyawanya. Anantaboga menggelepar-gelepar sebentar, lalu menggeletak mati, tak bergerak.

Ajaib. Mayat Anantaboga lenyap, menjelma menjadi Dewi Maheswari. Sesungguhnya Dewi Maheswari adalah bidadari yang di-kutuk-pastu oleh Sang Hyang Guru Pramesti. Ia terpaksa menjalani hukuman sebagai naga raksasa. Dari Dewi Maheswari, Bima mendapat petunjuk di mana ia bisa menemukan tirtha prawidhi, yaitu di dasar samudera raya.

Dengan mantra Jalasengara pemberian Batara Indra, Bima mengarungi Samudera Selatan yang penuh gelombang bergulung-gulung setinggi gunung. Di dalam samudera itu ia harus menghadapi naga besar Nawatnawa yang menyemburkan hujan berbisa. Tetapi, berkat apa yang dialaminya di Sungai Gangga, badannya menjadi kebal. Dan berkat ikat pinggang pemberian Batara Bayu, ia bisa mengambang di samudera raya. Dengan tangkas ia menaklukkan Nawatnawa, mencekiknya, dan menusuk lehernya dengan kuku Pancanaka. Seketika itu, matilah Nawatnawa. Tetapi, setelah tiga pertarungan berat itu, Bima menjadi sangat lelah. Ia membiarkan dirinya diombang-ambingkan gelombang raksasa dan dihempaskan ke sebuah karang emas. Seorang diri, tanpa pertolongan



Bertemu Dewa Ruci

Ketika itulah muncul Dewa Ruci yang sangat kasihan melihat Bima. Ia memancarkan sinar cemerlang yang menyebabkan Bima siuman. Alangkah kagetnya Bima melihat seorang manusia yang sangat kecil namun sangat mirip dengan dirinya. Manusia itu berkata, “Aku ini Dewa Ruci yang disebut juga Nawaruci. Aku datang untuk menolongmu Bimasena. Wahai kesatria perkasa, masuklah ke dalam telingaku. Di dalam diriku, engkau akan menemukan apa yang kaucari’.”

Bima heran sekali mendengar perintah manusia mungil itu. Bagaimana mungkin tubuhku yang sebesar ini bisa masuk merasuk ke dalam tubuhnya yang sekecil itu? pikirnya terheran-heran. Ketika Bima masih ragu-ragu, Dewa Ruci berkata, “Sesungguhnya, tempat ini adalah tempat yang kosong dan sunyi, tak ada apa-apa, tak ada busana atau pakaian, tak ada boga atau makanan. Semua serba sempurna. Ketahuilah, selama ini engkau hanya setia pada ucapan, mengabdi pada gema, yaitu bentuk segala kepalsuan.”

Uraian hakikat hidup yang gaib itu membuat Bima tercengang, tak kuasa berkata-kata.

Dewa Ruci melanjutkan, “Siapakah yang lebih besar, wahai Panduputra, engkau atau alam semesta yang ada di dalam tubuhku? Aku adalah jagad besar atau makrokosmos dan engkau adalah jagad kecil atau mikrokosmos yang ada di dalam aku.”

Bima yang semula ragu, apakah dia akan bisa masuk ke dalam lubang telinga Dewa Ruci, menjadi mantap setelah mendengar uraian ringkas itu. Tanpa ragu ia melaksanakan perintah manusia mungil itu. Begitu memasuki telinga Dewa Ruci, Bima merasa seakan-akan berada di alam kosong, berhadapan dengan suatu wujud berbentuk gading yang memancarkan sinar putih, merah, kuning, dan hitam perlambang jiwa manusia dengan sifat-sifat murninya. Sinar putih melambangkan kemurnian budi, sinar merah melambangkan watak berangasan dan lekas marah, sinar kuning melambangkan keinginan-keinginan manusiawi, dan sinar hitam melambangkan angkara murka dan keserakahan.



Kemudian Bima melihat tiga wujud seperti boneka dari emas, gading dan permata. Ketiganya melambangkan tiga dunia. Masing-masing disebut Inyanaloka atau lambang badan jasmani, Guruloka atau lambang alam kesadaran, dan Indraloka atau lambang dunia rohani. Demikianlah, di dalam tubuh Dewa Ruci, Bima mendengarkan penjelasan panjang lebar tentang hakikat manusia dengan segala nafsunya dan hakikat alam semesta yang terbagi menjadi tiga tataran.

Kemudian, tanpa disadarinya, Dewa Ruci yang gaib dan agung itu lenyap dari mata batinnya. Bima tersadar. Tahulah Bima bahwa dia telah menemukan apa yang harus dicarinya, vaitu tirtha prawidhi, air suci atau air kehidupan, perlambang hakikat dirinya dan hakikat alam semesta.

Bima seorang yang tidak pernah menggunkana bahasa halus pada siapapun bahkan dengan dewa sekalipun tutur bahasanya tetap kasar. Hanya pernah sekali Bima bertutur bahasa halus yaitu ketika berbicara dengan Dewa Ruci. Dewa Ruci berarti juga dewa yang halus. Dewa Ruci ialah halusnya Bima.

Bima beristri Dewi Nagagini dan Dewi Arimbi. Anantasena anak tertua Bima dari Dewi Nagagini dan Gatotkaca anak dari Dewi Arimbi.